Selamat Datang di EXPOSE PACITAN dan Perbaharui Informasi Terbaru Untuk Anda di Sini, Terima Kasih Telah Berkunjung Semoga Bermanfaat

Senin, 06 Januari 2014

Tradisi Eretan Pacitan, Kearifan Lokal dan Budaya Gotong Royong

Pacitan - Hari itu ombak begitu tinggi. Bunyi deburnya menenggelamkan suara manusia yang berada di daratan. Itulah pemandangan awal sebelum tradisi eretan dimulai. Sebuah cerminan tentang kearifan lokal dan budaya gotong-royong warga Wora-wari, Kebonagung.

10 pria berperawakan kekar tampak berbaris di bibir pantai. Mereka berdiri membelakangi hamparan pasir yang basah oleh air laut. Matanya tertuju pada sosok tua yang berdiri di hadapan mereka. Wasito (53) nama pria itu. Mulutnya tak henti komat-kamit layaknya dalang.


Kalimat demi kalimat yang terucap dari lisan Wasito bukan tanpa makna. Deretan kata yang tersusun indah adalah pengejawantahan sedekah bumi. Wujudnya berupa ingkung (ayam dimasak bumbu) lengkap dengan nasi dan lauk. Sajian itu ditata sedemikian rupa dan ditata di atas hamparan pasir.


"Intinya kami semua memohon keselamatan dan ketenteraman hidup," ujar Wasito yang juga menjabat Kepala Desa Wora-wari, Kecamatan Kebonagung, Sabtu (4/1/2013).

Karena alasan itulah, sajian tersebut lantas dibacakan doa. Pembacaan dipimpin tokoh agama desa setempat. Ratusan hadirin yang berdiri di segenap penjuru pantai pun tertunduk dan larut. Mereka ikut mengamini tiap kalimat yang dilafalkan sang ulama.

Setelah lantunan doa selesai, barulah 10 pria yang telah sekian menit menunggu memulai tugas. Dengan langkah serentak, mereka maju ke arah kepala desa. Lalu, satu per satu tangannya bergantian menjabat kepala desa dan kyai.


"Itu bermakna mereka mohon doa restu sebelum berangkat melaut," tambah Wasito.

Dalam sekejap, 10 pria yang mengenakan pakaian ala kadarnya berbalik arah. Mereka lantas beramai-ramai mendorong 2 perahu yang tertambat di tepi pantai. Setelah perahu mengapung, 4 pria menaiki 2 perahu. Sedangkan 6 lainnya menunggu di pesisir.

Perlahan-lahan 2 perahu bergerak menjauhi pantai. Lambat laun ukurannya nampak makin kecil. Keduanya bergerak saling berjauhan. Perahu yang satu menuju ke ujung teluk sebelah kiri. Sedangkan satu perahu lain melesat ke ujung teluk sebelah kanan. Jarak antar ujung teluk sekitar 500 meter.


Seakan berada di bawah komando sama, kedua perahu bergerak kembali ke pinggir. Lajunya tak terlalu kencang. Tujuannya untuk menjaga agar jaring yang ujungnya tertambat di kedua ujungnya tidak putus. Dengan cara itu para nelayan menangkap ikan secara turun temurun.


Tinggal 5 meter lagi kedua perahu mendarat di hamparan pasir. Tanpa diminta, puluhan warga lain yang sejak tadi menunggu berhamburan menuju kedua ujung tali jaring yang tertambat di dua perahu. Sekilas tampak seperti perlombaan tarik tambang. Bedanya, yang ditarik adalah jaring penuh aneka jenis ikan.


Begitulah semangat kebersamaan tertanam dia antara nelayan Pantai Dangkal. Tak hanya saat melaut, ketika mengambil hasil tangkapan pun mereka lakukan bersama-sama.

"Tradisi ini sudah berlangsung turun-temurun. Mereka yang datang ke sini bukan hanya warga desa sini, tapi juga dari desa-desa sekitar," ujar Tumadi (56) warga setempat sambil sibuk melepaskan ikan dari jaring.


Setelah ikan terkumpul, barulah nelayan pemilik perahu dan jaring membaginya. Semua mendapat bagian sesuai perannya. Baik para pria pendorong perahu maupun warga yang suka rela memantu menarik tali jaring, semua membawa ikan.


Sambil menenteng ikan beragam jenis dan ukuran, mereka kembali menuju ke arah semula mereka berkumpul. Semua orang lantas beramai-ramai menikmati nasi dan ayam ingkung sebelum pulang ke rumah masing-masing.


Eretan Ngupaya Mina, sebutan dalam Bahasa Jawa yang bermakna saling bergandengan mencari ikan. Sebuah nilai yang sulit di dapat di sebuah dunia modern yang acap kali menggiring kita menjadi pribadi yang individualis.


Sumber: Detik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar