Pacitan (Paradise of Java) - Tubuh renta itu masih tangkas. Langkah kaki
dipadu gerak lincah seakan menepis kenyataan usianya menjelang senja. Di bawah
iringan gamelan Jawa yang rancak, Sutiman (70) terus meliuk, berjingkrak,
memutar, dan sesekali jungkir balik.
Dibalut pakaian serba putih ala sosok wayang Hanoman, Sutiman benar-benar
menjelma seekor kera. Itu adalah secuil adegan Tari Kethek Ogleng. Tarian asli
Pacitan yang melegenda.
"Sekitar tahun 1962, saya masih petani. Waktu saya sering melihat perilaku
kera di hutan. Lalu saya ciptakan tari ini. Lha saya dianggap gila oleh para
tetangga," tutur Sutiman memulai ceritanya kepada detikcom di kediamannya,
Desa Tokawi, Kecamatan Nawangan, Kamis (13/3/2014).
Julukan orang gila tak membuat Sutiman muda patah arang. Cemoohan dan ejekan
yang datang bertubi-tubi justru menjadi pelecut semangat untuk terus berkarya.
Setahun setelah Tari Kethek Ogleng tercipta, Sutiman berkesempatan tampil pada
lomba desa tingkat kabupaten. Mulai saat itu, tarian karya Sutiman makin dikenal
dimana-mana. Bahkan tidak jarang, kelompok tari beranggotakan puluhan orang itu
diundang tampil di sejumlah acara resmi kenegaraan.
"Pernah diminta juga tampil ke provinsi dan pusat," ucapnya
Di Desa Tokawi sendiri, lanjut Sutiman, Tari Kethek Ogleng sudah melekat dengan
tradisi warga. Maklum, pada tahun 60-an wilayah yang berada di perbatasan
dengan Kabupaten Wonogiri, Jawa
Tengah itu tergolong terpencil.
Kehadiran Kethek Ogleng seakan menjadi penyejuk di tengah
kehausan masyarakat terhadap hiburan. Seni ini menjadi menu wajib tiap acara
hajatan, seperti pernikahan, khitanan, maupun ritual menyambut kelahiran bayi.
Untuk menyempurnakan koreografi Kethek Ogleng seperti saat ini, Sutiman
membutuhkan waktu sedikitnya 2 tahun. Selama rentang waktu tersebut
popularitasnya terus meluas hingga ke seluruh
penjuru wilayah Kota 1001 Gua. Bahkan seni itu juga berkembang hingga wilayah
kabupaten tetangga.
5 dasawarsa berlalu, dan Kethek Ogleng makin terpatri kuat di hati tiap insan
Pacitan. Hadir menjadi kebanggaan sekaligus bukti kepiawaian seniman asli yang
lahir dari dasar ngarai kesunyian alam
pedesaan.
Kini Sutiman tak seperkasa dulu. Nafasnya tak cukup kuat untuk menirukan
gerakan si kera. Sadar bertambahnya usia tak mungkin dilawan, Sutiman pun
menyerahkan tongkat estafet kepada Sukisno, sang menantu.
Pria kelahiran Klaten, Jawa Tengah inilah yang sepenuhnya bertanggung jawab
terhadap pengelolaan sanggar seni Krido Wanoro yang dirintis Sutiman. Sukisno pulalah
yang berperan sebagai pelatih bagi mereka yang berminat mendalami Kethek
Ogleng.
"Kami merintis kerjasama dengan sekolah yang ada. Kalau sore banyak anak
SD yang berlatih di sanggar dan halaman SD," kata pria berperawakan sedang
itu.
Kini anak didik Sutiman menyebar ke sejumlah wilayah, termasuk diantaranya
menetap di kabupaten tetangga. Di tempat tinggal mereka masing-masing Kethek
Ogleng pun cukup berkembang.
Dari situlah persoalah hukum bermula. Kendati sejarah
mencatat bahwa Tari Kethek Ogleng satu-satunya adalah lahir di Bumi Pacitan,
namun ada daerah lain yang mengklaim hak paten atas karya intelektual tersebut.
Sudah pasti, Sutiman dan rakyat Pacitan kecewa. Tapi apa daya, kekecewaan saja
tak mampu mengubah keputusan hukum. Bupati Indartato sendiri tidak kuasa
menahan kegalauan.
"Secara de jure biar saja ada yang mengklaim, tapi de facto budaya itu
sudah melekat dengan kehidupan masyarakat Pacitan. Semua pasti tahu itu. Oleh
karena itu saya berharap kita bersama dapat mengembangkannya di daerah kita
sendiri," tegas Indartato.
Upaya itu, imbuh Indartato, dinilai lebih utama ketimbang sekadar berkutat
dengan kasak-kusuk soal pengakuan. Dia pun berjanji akan mengagendakan masuknya
tarian tersebut dalam acara kenegaraan. Ini sebagai wujud kebijakan untuk ikut
serta menjadikan Kethek Ogleng sebagai kebanggaan daerah sendiri.
Raga Sutiman memang makin ringkih dimakan usia. Namun tidak begitu dengan
karyanya. Ruh Kethek Ogleng akan senantiasa hidup seperti bara api nan tak
kunjung padam sepanjang zaman.
Kethek Ogleng, buah karya putera pertiwi. Lahir dari dedikasi ditengah
keterbatasan hingga akhirnya menjadi karya emas yang tak lekang oleh masa.
"Kethek Ogleng jangan sampai punah. Eman-eman. Syukur bisa
dilestarikan," katanya berpesan.
Sumber: Detik News
Tidak ada komentar:
Posting Komentar