PACITAN - Sejumlah aset yang berada di Pantai Watu
Karung di Kecamatan Pringkuku, Pacitan, kini dinikmati perorangan. Mayoritas
tanah di lokasi itu lebih dulu dikelola pendatang dari luar daerah.
Bahkan, beberapa dari mereka merupakan orang asing yang
hendak mengembangkan usaha di pantai yang terkenal dengan ombaknya tersebut.
"Kebanyakan, orang-orang luar negeri itu juga punya usaha wisata di
Bali," kata Iput, salah seorang warga setempat, Rabu (30/10).
Dia menjelaskan, kira-kira sejak 2005, sejumlah orang asing
dari berbagai negara seperti Australia, Austria, Jepang, dan Swiss itu mulai
melakukan ekspansi. Yakni, dengan cara membeli tanah milik warga setempat.
Hasilnya, sekarang hampir seluruh tanah di tepi pantai
tersebut dikelola menjadi tempat usaha. Misalnya, digunakan sebagai resor dan
homestay. "Yang sering menyewa ya orang-orang yang hendak berolahraga
selancar di pantai (Watu Karung, Red) itu," terangnya.
Pernyataan tersebut diamini Kepala Desa Watu Karung Wiwid
Peni Dwi Antari. Dia menyatakan, ada beberapa lokasi yang memang sejak lama
berpindah kepemilikan ke tangan orang asing.
Menurutnya, seluruh pengusaha itu sudah memenuhi syarat
administrasi yang ditentukan. Bahkan, beberapa kesepakatan antara kedua pihak
sengaja dibuat agar nanti tidak ada yang merasa dirugikan. "Mereka
memiliki sertifikat tanah yang legalitasnya bisa dipertanggungjawabkan,"
jelasnya.
Wiwid mengungkapkan, ada tiga tempat usaha yang tercatat
sudah mengantongi izin resmi dari pemerintah desa setempat. Yakni, Istana
Ombak, Watu Hutan, dan Lestari. Semua merupakan jasa wisata sejenis resor dan
tempat menginap bagi pengunjung. Lebih lanjut, tiga tempat usaha itu memasang
tarif mulai Rp 150 hingga Rp 350 ribu per malam. ''Bahkan, sebentar lagi ada
yang akan buka. Tarifnya Rp 1 juta per malam,'' imbuhnya.
Kendati demikian, resor dan homestay yang didirikan tersebut
tidak serta-merta banyak berkontribusi terhadap pendapatan desa setempat. Wiwid
menambahkan, dalam sebulan, hanya Istana Ombak Resor yang rutin membayar
retribusi ke desa. Yakni, Rp 250 ribu per bulan.
Resor lain kerap absen dengan dalih sepi pengunjung atau
minim pendapatan. "Hanya itu pendapatan desa kami, dari resor dan homestay
di pantai itu," ungkapnya.
Sumber: JPNN
abis kalo gini semua...
BalasHapushaha iya boss...
Hapus