Selamat Datang di EXPOSE PACITAN dan Perbaharui Informasi Terbaru Untuk Anda di Sini, Terima Kasih Telah Berkunjung Semoga Bermanfaat

Jumat, 04 Oktober 2013

Berkali-kali Terkena Palu, Kini Jarinya Tanpa Kuku (Kegigihan Perempuan Pemecah Batu Pacitan)

Pacitan- Menjadi seorang pemecah batu tentunya bukan pilihan setiap orang. Terlebih, bagi kebanyakan kaum perempuan. Selain melelahkan, profesi itu umumnya dilakukan kaum pria bertenaga ekstra. Pemandangan itu tidak sulit ditemukan di Desa Gemaharjo, Kecamatan Tegalombo, Pacitan, Jawa Timur. 

Bagaimana kisahnya?

Sang mentari masih malu menampakkan sinarnya pagi itu. Selain terhalang tebing tinggi, waktu itu masih menunjukkan pukul 07.00 wib. Namun, beberapa perempuan paro baya sudah tampak berjalan beriringan menuju sebuah gubuk. Tidak jauh dari gubuk itu, bongkahan batu berukuran sedang terlihat menggunung. Sedangkan disampingnya terlihat seorang perempuan memperbaiki palu. Sesekali, perempuan itu memukulkannya ke sebuah batu yang sebelumnya sudah dipilah ukuranya. "Kalau yang besar, dijadikan kecil. Nanti habis itu dipecah lagi agar berukuran lebih kecil lagi," kata Masiyem, salah satu perempuan paro baya itu.

Ya, itulah aktivitas para perempuan pemecah batu di Desa Gemaharjo, Tegalombo. Aktivitas itu mulai terlihat sejak pagi. Maklum, mereka beranggapan semakin pagi, semakin banyak batu yang bisa mereka pecah. Dan otomatis penghasilan mereka juga akan bertambah dihari itu. "Kebetulan hari ini cerah, jadi bisa mulai mecah batu lebih awal," jelasnya.

Memecah batu atau dalam bahasa jawa lebih dikenal dengan istilah meceli watu memang bukan perkara yang mudah. Masiyem terutama. Meski dia sudah puluhan tahun melakukannya, namun berkali-kali dia harus menjalani perawatan karena jarinya terkena palu ketika memecah batu. Bahkan, sudah satu jarinya tidak lagi memiliki kuku yang utuh lantaran terkena palu."Kalau tidak hati-hati memang resikonya terkena pukulan palu," ingat nenek dua cucu itu.

Yang dilakukan Masiyem dan puluhan perempuan lainnya bukan semata-mata untuk membuat asap dapur mereka tetap mengebul. Tapi juga kesetiaan mereka mendampingi suaminya bekerja. Aktivitas itu berawal dari panggilan jiwa seorang istri yang terenyuh ketika melihat sang suami bekerja keras. Awalnya, hanya sebatas mengangkat batu dari sungai menuju lokasi untuk memecah batu. Kemudian berlanjut mengurangi beban suami dengan ikut memecah batu. "Kasihan melihat suami banting tulang sendirian. Akhirnya saya dan perempuan lainnya tergugah untuk ikut membantu," jelasnya.

Bicara penghasilan, ibu tiga anak itu mengaku paling banyak mendapatkan uang Rp 80 ribu sehari. Itupun, harus kerja ekstra dengan menghasilkan setengah kubik batu. Sedangkan paling minim, Masiyem pernah membawa pulang Rp 30 ribu dalam sehari. (A. dwi Prasetyo, Tegalombo)



Sumber : Jawa Pos Radar Pacitan edisi Jumat, 04 Oktober 2013
Foto: Google

Tidak ada komentar:

Posting Komentar